Silvester Alvon Ditya Arudiskara adalah tokoh keenam dari tujuh puluh Tokoh Alumni SMA Kolese De Britto yang kurencanakan. Alvon salah satu kawan dekatku. Meski ia setahun lebih dulu masuk De Britto, kami lulus bersama-sama pada 1996.
Pria jangkung kelahiran Yogyakarta, 16 Oktober 1977 ini adalah teman main band dan teman nongkrong yang mujarab. Mujarab? Ya! Nongkrong dengannya membuat hidup terasa lebih bergairah dari sudut pandang yang berbeda 🙂
Aku tak hendak membahas terlalu tuntas tentang ‘perbedaan’ itu, intinya justru aku banyak belajar bahwa hidup dan penyelesaian persoalan-persoalan di dalamnya itu tak harus letter lux, sesuai aturan buku nan formal. Hidup harus dihadapi dan diselesaikan dengan memperhatikan laras, iramanya.
Hingga kini Alvon dan istri serta kedua anaknya tetap tinggal di Jogja dan berprofesi sebagai seniman. Namanya baru-baru ini mengemuka di media-media lokal dan nasional karena gagasan emasnya nan mulia. Di rumah yang dulu adalah rumah masa kecilnya sekaligus rumah yang kerap kujadikan ‘markas’ untuk menghabiskan akhir pekan bersama kawan-kawan dan keluarganya, Alvon mendirikan Sanggar Seni Notoyudan.

Sanggar ini memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk belajar musik secara cuma-cuma alias tak dipungut biaya. Ide yang brilian, bukan? Di saat gerai-gerai sekolah musik menggeber price list yang tak murah untuk peserta didik menikmati nada dan irama, Alvon justru tak mengisyaratkan satu rupiah pun pada anak-anak didiknya…
Melalui WhatsApp, aku ngobrol dengannya beberapa waktu silam. Awalnya sangat sulit untuk bicara dengan menempatkan diri sebagai pewawancara dan ia narasumbernya karena percakapan yang begitu mengalir sejak dulu itu seolah harus terkonstruksikan sedemikian ketat.
Hasilnya? Nilai sendirilah rawian di bawah ini yang penting… mabus bebak!
[DV] Sebagai musisi, pernahkah kamu khawatir bahwa penghasilanmu nggak akan mencukupi keluarga?
[Alvons] Asline yo khawatir! Mung nrimo wae… (Sebenarnya khawatir tapi ya ‘diterima’ saja… -DV)
Kalau kamu masih khawatir kenapa nekat membuka Sanggar Seni Notoyudan? Kan waktumu lebih baik digunakan untuk mengerjakan hal-hal lain yang menghasilkan uang?
Saya selalu percaya, ketika memberikan sesuatu kepada orang lain secara cuma-cuma, Tuhan akan memberi kita kembali dengan berlipat!
Kalau ternyata Tuhan tidak memberi apa kamu akan kecewa?
Saya tidak pernah kecewa dengan Tuhan. Disaat-saat yang genting saya selalu dilindungi. Itu yang saya percayai.
Mantep! 🙂 Waktu SMA dulu kamu kan cukup nakal? Titik apa yang membuat kamu berpikir untuk berhenti atau setidaknya mengurangi?
Saya masih nakal kok hahaha… Setelah berkeluarga saya berusaha untuk tidak nakal lagi.. hahaha. Berbuat baik itu nggak harus dilakukan oleh orang yang tidak nakal, kan?

Hahahaha… tempo hari kamu pernah pergi ke East Timor. Apa yang dikerjakan di sana?
Membuat kursusan musik gratis juga bersama teman saya, Kiera Zen… Kursusan itu mendapat dukungan dari pemerintah. Awalnya semi volunteer…
Di sana berapa lama? Apa sekarang masih berjalan?
Dalam satu tahun saya ada di Dili selama 4-6 bulan. Team awal ada delapan orang. Terakhir kali desember tahun lalu, 2017, team pulang ke Indonesia. Entah ke depannya seperti apa belum tahu karena tergantung kondisi politik di sana.
Bicara soal De Britto, apa yang paling kamu syukuri pernah sekolah di sana?
Yang paling saya syukuri ada dua. Pertama, punya kepribadian yang unik hasil tempaan De Britto. Kedua, punya teman-teman alumni yang selalu mendukung ketika saya membuat sesuatu.
Pribadi yang unik itu pribadi yang bagaimana?
Nakal tapi bertanggung jawab, inovatif dan berbeda dengan yang lain, man for others!
Kenapa nakal? Apa De Britto harus nakal?
Yoben sak karepku hahaha…
Nakal itu menurut saya lebih bebas dan indah.. seperti di dalam musik kalau nadanya nakal pasti lebih enak…

Mimpi besarmu tentang Sanggar Notoyudan apa?
Sanggar bisa menjadi lebih besar, punya fasilitas yang cukup untuk menampung lebih banyak siswa dan tetap gratis…
Pemberitaan yang luar biasa tentang sanggar belakangan ini membawa efek positif?
Iya. Banyak yang mendaftar. Selama kami masih mampu, kami kerjakan. Ada juga beberapa teman De Britto yang juga membantu memberikan donasi dan kebanyakan tidak mau disebut. Donasi tersebut kami pakai untuk membeli alat, spare part, service alat, dan membenahi tempat belajar yang rusak…
Kenangan yang paling mengesankan antara diriku dengan Alvon adalah ketika di penghujung masa belajar kami di De Britto, bersama rekan lain, Kelik, Wicak dan Tlethong, kami nekat pergi ke Kolese Gonzaga, Jakarta. Kami diundang manggung di acara Natalan di sana. Dengan dana dan persiapan yang sangat minim serta ketiadaan ijin dari pihak sekolah, kami berangkat Jumat malam naik kereta ekonomi, Matarmaja jurusan Gambir. Duduk di bordes (pintu kereta ekonomi) yang pesing dan jorok, berbagi hisapan rokok, minuman es dalam plastik yang digenggam dan suapan nasi bungkusan yang kita bagi, sama-sama lapar, sama-sama kenyang…
Aku secara khusus meminta Alvon membawakan Mars De Britto menggunakan biola dan berikut adalah hasilnya.
Credit featured photo: Yohanes Maria Radianto Asmoroo