Tujuan pelatihan menulis (writing training) itu sederhana: peserta bisa menulis. Itu saja. Tidak lebih, tidak kurang. Pelatihan menulis yang berhasil adalah pelatihan yang membawa peserta “dari tidak bisa menjadi bisa”, “dari bisa menjadi biasa”, dan dari “biasa menjadi otomatis”.
Untuk itu, sebagai pelatih menulis, setiap kali mendapatkan undangan untuk mengisi pelatihan, saya selalu menerjemahkan tema yang diberikan supaya bisa saya konkretkan. Saya tidak mau mengisi pelatihan menulis dengan tujuan yang keliru: membuat peserta tahu teori menulis. Urungkan pelatihan jika yang mau dicapai tidak tepat.
Tahu bukan tujuan pelatihan. Tahu adalah tujuan seminar. Pelatihan tidak boleh sekadar menyentuh aspek kognitif (penalaran), melainkan sampai ke aspek motorik (pergerakan) dan afektif (sikap). Ini standar yang saya tetapkan. Oleh karena itu, setiap pelatihan menulis yang saya bawakan selalu menggerakkan peserta ke sikap baru, yakni sikap bahwa menulis itu mudah, menyenangkan, dan bermanfaat. Mudah, hanya ketika dimulai. Menyenangkan, hanya ketika dilanjutkan tanpa membatasi diri. Bermanfaat, hanya jika memahami apa yang orang lain (pembaca) inginkan.
Seperti yang saya praktikkan dalam pelatihan menulis “Story Writing yang Reflektif dan Menggerakkan” yang diselenggarakan Paguyuban Alumni De Britto Chapter Kalimantan Timur dan Seminari Menengah St Yohanes Don Bosco, di Samarinda, 11-12 Maret 2017. Ini kali pertama saya mengaplikasikan metode “bagi-bagi ide” sebagai penyempurnaan atau metode “cacah ide” (chunking) sebelumnya.
Saya tidak hendak mengungkap metode itu sekarang. Saya hanya ingin sampaikan bahwa dalam pelatihan, selain pesan, kesan juga penting. Pesan adalah isi materi, yang penting disampaikan namun tidak selalu penting diingat peserta seusai pelatihan. Sedangkan kesan adalah bagaimana peserta mengingat bagaimana pesan disampaikan. Kesan melibatkan keseluruhan pribadi sehingga lebih awet diingat peserta, bahkan jauh hari setelah mereka selesai ikuti pelatihan nantinya.
“Bagi-bagi ide”, metode yang saya terapkan kemarin, membimbing peserta untuk pertama-tama mencacah ide menjadi ide-ide kecil yang bakal menghidupi setiap kalimat dan alinea, lalu melibatkan orang lain menjadi bagian dari pengembangan ide itu sehingga alinea berikutnya berlanjut sampai selesai.
Bagaimana akhirnya?
Nah, ini yang penting bagi penulis. Juga bagi pelatih penulis seperti saya. Akhir dari cerita selalu membayangi aktivitas menulis, yakni bagaimana respons pembaca. Tulisan yang baik, dan tentu saja penulis yang baik memikirkannya, selalu punya tujuan atas tulisannya. Tujuan sederhana atas tulisan bisa diilustrasikan: pembaca melakukan sesuatu atas anjuran yang kita tulis, pembaca mengubah sesuatu atas saran yang kita sodorkan, pembaca menghentikan sesuatu atas peringatan yang kita serukan!
Akhir dari tulisan saya bisa saya tebak—karena memang ini yang saya inginkan: peserta berdiri saat saya menuliskan frasa “boleh berdiri sekarang”, peserta bergegas merampungkan tulisannya dan lari mengumpulkan kertas kerjanya saat saya tulis “satu… dua… tiga…”, peserta tertawa saat saya melontarkan lelucon, peserta hening dan bergeming saat saya tuliskan kalimat-kalimat yang nyaman menyapa pikiran dan perasaan mereka.
Mereka geli sendiri ketika di bagian akhir tulisan saya bukakan rahasia, “Seperti itulah cara kerja kata-kata yang menghipnosis. Saat anda mau melakukan apa yang saya tulis, dan anda melakukannya dengan spontan tanpa menimbang-nimbang, dan saat anda sadari bahwa kesadaran anda mudah ditembus oleh kata-kata… anda sudah saya hipnosis.”
Bagaimana dengan akhir pelatihan? Di atas ekspektasi saya! Mendekati tengah malam, di sesi penutupan, kelas semakin gaduh. Bukan gaduh ingin lekas pulang—toh sebagian besar tinggal di asrama di dalam kompleks, melainkan gaduh merayakan ingatan mereka akan cerita yang mereka tulis.
Saat saya bertanya, “Siapa yang ingat cerita tentang tikus?” mereka bersahutan mengisahkan ulang kisah tikus yang ditulis salah seorang peserta. Mereka mengingat cerita secara detil, hingga ke kutipan-kutipan kalimatnya. Begitu pun ketika saya pancing dengan, “Siapa masih ingat cerita tentang…?”
Si penulis senang, tentu saja, cerita yang ia tulis diingat oleh pembaca. Si pembaca tak kalah girang menyadari betapa mudah pikiran mereka menyimpan ingatan akan cerita yang mereka baca. Saya tak kalah bersyukur bisa melatihkan metode menulis yang bukan hanya membuat peserta tahu teorinya, juga bukan hanya bisa memraktikkanya, melainkan juga merasakan langsung hasil dari metode yang mereka praktikkan.
Sebelumnya saya meyakinkan mereka, “Bukan saya saja yang berhasil menyusun tulisan yang berkesan bagi kalian. Saya yakin, tulisan kalian juga berkesan bagi teman-teman lain.” Dan benar. “Inilah dampak dari ‘story writing’, bagaimana tulisan dengan metode bercerita lebih mudah diterima pembaca, lebih asyik dibaca, dan lebih ringan diingat oleh pembaca,” pungkas saya menutup pelatihan.
Persisnya seperti apa metode “bagi-bagi ide” itu bisa anda kuasai, dan bagaimana jika anda atau tim anda mengalami “bagi-bagi ide” itu lewat pelatihan yang saya bawakan dengan materi khusus untuk anda dan tim anda, mudah saja untuk jadwalkan dengan “AA Kunto A Manajemen” via WA 085792717738, sekarang…
Bali, 17 Maret 2017
@AAKuntoA
CoachWriter
www.aakuntoa.com
www.solusiide.com
www.dokudoku.id