Sewaktu SMA dulu, di setiap awal tahun ajaran baru kami para siswa SMA Kolese de Britto pasti ditugaskan guru wali kelas untuk mengambil buku-buku pelajaran di ruangnya Om Tong Jit. Ada bermacam buku yg tersedia di sana, dan kami harus mengambil buku-buku sesuai mata pelajaran yg akan kami ikuti. Jadi pasti ada banyak buku yg akan kami ambil.
Masalahnya.. hampir semua buku di ruangan Om Tong Jit itu buku-buku lama. Sudah kusam, warna kertas sudah kecoklatan dan dapat dipastikan guru-guru yg mengajar tak memakai buku-buku itu sebagai panduan belajar.
“Wis..rasah protes. Kamu bawa saja, jaga baik-baik, akhir tahun ajaran kembalikan ke saya. Utuh. Tak boleh ada yg hilang. Tak boleh ada yg rusak,” begitu kira-kira jawaban Om nyentrik teman curhat yg asyik itu ketika kami protes kenapa harus ambil buku yg tak berguna itu?
Begitulah, akhirnya. Buku itu berpindah dari ruangannya Om Tong Jit ke rumah atau kos kami. Selama kira-kira setahun kami simpan. Lalu kami kembalikan lagi masih dalam bentuk yg sama seperti kami mengambilnya.
Melihat background tulisan AMDG ini, ingatanku kembali ke buku-buku Om Tong Jit itu.. AMDG, Empat kata itu, sedari SMA sudah dimengerti artinya. Namun buku-buku tua sebagai gambar latar di tulisan itu mengingatkanku bahwa untuk memuliakan Tuhan, kita tak harus melakukan perbuatan-perbuatan hebat yg membuat kita selalu dalam sorotan perhatian. Terkadang cukup perbuatan sederhana saja. Bertanggung jawab dan setia. Bertanggung jawab dan setia pada perkara-perkara kecil itu juga bisa jadi wujud dan doa kita untuk memuliakan Tuhan.
Menjaga baik-baik buku Om Tong Jit, bisa jadi latihan sederhana yg diajarkan sekolah untukku menjadi pribadi yg bertanggung jawab. Menjaga buku yg sepertinya tak berguna, lalu mengembalikannya utuh tanpa ada yg hilang itu bisa jadi ujian sederhana.
Banyak yg berhasil. Namun ada yg gagal dengan menghilangkan satu atau dua buku. Tapi ada juga yg bisa mengerjakan tugas itu dengan lebih baik, walau tak buku itu tak berguna di kelas, mereka tetap membacanya dan mengembalikan buku itu ke Om Tong Jit, dengan telah menyerap ilmu di buku itu ke otaknya.
[Adven Sarbani]