Boneng sedang “judek” kala itu. Otaknya senut-senut. Mulutnya gagu. “Punya karyawan baru nggak bisa pegang kamera. Padahal IP-nya tinggi,” gerutunya.
Bersamaan, anak sulungnya mengajukan permintaan, “Pi, beliin trail ya.” Blar! Kala itu Agustus 2015. Si sulung kelas 6 SD. Kebanyakan orang tua bisa jadi akan langsung menangkis, “Tidak! Kurangi bermain! Belajar! Belajar! Sudah mau ujian nasional.” Lalu anak akan “mecucu”, balik kanan masuk kamar, dan membanting diri ke tempat tidur sambil nyumpahi orangtuanya.
Bagaimana dengan Boneng? Dia berunding dengan Agnes Dinar, istrinya, Stece 96, “Dia nggak pernah minta macam-macam, Mi.” Hmmm, langsung dibelikan? Nanti dulu. Ada cerita lain yang lebih seru.
*
Minggu, 19 Maret 2017. Deandra jatuh dari motornya dalam sebuah kejuaraan di Banyuwangi, Jawa Timur. Ia sudah mengitari arena lebih dari 15 menit, dan 20 meter lagi bakal sampai di garis akhir. Saat bangkit, ia diseruduk kendaraan lebih besar dari belakang. Ia jatuh lagi dan tertimpa motor. Penonton mengira itu kecelakaan di jalan raya. Mereka meminta Deandra menepi dan duduk.
Boneng bergegas menghampiri Deandra. Ia tahu, di sirkuit, pantang menolong pembalap yang terjerembab. Deandra juga tahu. Tapi kali itu Boneng terpaksa melakukannya. Bahkan ia mencegah Deandra untuk melanjutkan perlombaan. Ada selang yang lepas. Deandra ngotot. Boneng tak kalah ngotot, “Kalau kamu lanjutkan, mesinnya pecah!”
Ketegangan memuncak! Kurang 20 meter, dan pertandingan usai. Boneng tahu, betapa sedih hati Deandra. Namun, jika dipaksakan tidaklah baik. Lagi pula, pertandingan kali itu tidak berimbang. Gara-gara peserta sedikit, kelas cc kecil dicampur kelas cc besar. Dan Deandra tersungkur diseruduk motor besar.
Deandra menangis. Memang tangannya memar, namun yang menyebabkannya menangis adalah merasa telah sia-sia. Tanpa sampai di finish, bagaimana pun pembalap itu gagal! Kali ini mereka kembali ke Denpasar, menyeberangi Selat Bali, dengan percakapan seputar kesedihan, penyesalan, sekaligus penghiburan.
*
“Anakku sebentar lagi SMA. Pasti sudah punya dunianya. Sekaranglah waktu terbaik untuk bersamanya,” Boneng membuka percakapan, beberapa malam sesudah tragedi itu. Dia bercerita kenapa dia mengizinkan anak perempuannya menekuni hobi yang “keras”.
Katanya, tugas orangtua adalah mendampingi anak. “Biarkan anak menjadi apa yang dia inginkan, bukan orangtua inginkan,” keluar kata-kata bijak lulusan De Britto 1995 ini.
Semula, permintaan anaknya dia anggap tidak serius. Maklum, anak-anak banyak maunya. Maka, ketika anaknya minta motor, yang ia lakukan pertama-tama adalah mengantarkan anaknya ke arena motor cross. Sewa motor dan sirkuit.
Deandra jatuh di awal-awal. Boneng pikir anak itu bakal kapok. Tak tahunya, selang seminggu, Deandra minta diantar lagi ke sirkuit. Melihat keberaniannya, Boneng pun menawari anaknya untuk ikut les balap. Boneng sadar, meski ia jagoan ngebut di jalanan, namun melatih anak membalap di arena khusus tidak boleh asal berani. Deandra mesti kenal teknik membalap yang benar.
Singkat cerita, setelah beberapa kali berlatih, Boneng menangkap keseriusan anaknya. “Deandra memang orangnya serius kalau menekuni sesuatu. Sebelum itu, dia menyukai bermain piano,” tutur rocker yang urung jadi artis ini. Karena keseriusan itu, Deandra dibelikan motor balap, komplet dengan perlengkapan balap standar.
Boneng pun mengantar sendiri anaknya berlatih dan bertanding. h2o videoworks tak lagi mengharuskannya turun tangan untuk syuting pre-wedding klien. Waktu longgarnya ia berikan untuk menjadi “bapak bagi anaknya”.
Tak cukup itu. Beberapa bulan lalu ia beli mobil khusus bak tertutup untuk mengusung motor anaknya berlatih dan bertanding. “Ya kalau dia bosan toh mobilnya bisa disewakan atau dijual,” selorohnya. Selebihnya, itu adalah upayanya untuk menunjukkan kepada anak betapa serius orangtua memfasilitasi. Ups, ada pamrih supaya anak membalas budikah?
*
Sabtu dan Minggu adalah hari berlatih dan bertanding Deandra. Khusus Sabtu, tentu ia harus ijin tak masuk sekolah. Saking seringnya “bolos”, sempat ada guru yang nyeletuk, “Kamu lebih mengutamakan sekolah apa balap?” “Balap!” jawab Deandra tangkas. “Kalau begitu, kenapa kamu tidak sekolah di sekolah balap saja?” cerca sang guru. “Nggak boleh sama Papi,” tukas siswa kelas 1 SMP ini.
Deandra sedang sedih. Di sekolahnya, kelas unggulan adalah A dan E. Semester lalu Deandra ada di kelas C. Semester ini ia terpaksa pindah ke kelas A gara-gara semester lalu ia ranking 1. Kenapa sedih, De? “Anak-anaknya nggak seru. Nggak suka bercanda.”
“Dari dulu Deandra ranking 1. Ia sudah tahu caranya belajar. Mungkin juga bosan belajar hahaha. Maka, ketika ia mau membalap, apa alasan untuk mencegahnya?” renung “veteran” (istilah untuk alumni yang semasa di De Britto pernah tinggal kelas) bernama asli Henrycus Susanto yang kini dipercaya sebagai Gubernur Paguyuban Alumni De Britto Chapter Bali ini.
“Aku nggak mau anakku kayak karyawan baruku dulu. IP-nya bagus, cum laude pula, tapi nggak bisa kerja. Dengan membalap, anakku mengalami jatuh-bangun dan capeknya mencapai finish. Mental dan fisiknya teruji di sirkuit,” ujar sungguh sangat serius!
Sebentar lagi, 21 April, Hari Kartini akan dirayakan dengan tampilnya perempuan juara bernama Elisabeth Deandra Naristya: juara di kelas dan juara di sirkuit. Kartini muda ini tidak berkebaya dan berkonde, melainkan ber-trail dan ber-helm “full face”!
Bali, 31 Maret 2017
@AAKuntoA