Orang keempat yang kuangkat sebagai Tokoh Alumni SMA Kolese De Britto Yogyakarta adalah Carolus Borromeus Triyanto Hapsoro. Pria yang akrab dipanggil Genthong ini putra asli Jogja yang lahir pada 12 Juni 1974. Bukan kali pertama aku mewawancarai dan menayangkannya di blog ini. September 2014 silam, Genthong kuhadirkan sebagai salah satu Tokoh Muda Jogja.
Rekomendasi dari kawan-kawan untuk memasukkan Genthong ke dalam daftar tokoh ini sebagian besar karena perannya yang dominan dalam kepanitiaan acara MPK (Manuk Pulang Kandang) 2017 silam. Acara MPK tahun lalu itu berbeda dari biasanya. Tematik dan cocok dengan keadaan kebhinekaan Indonesia terkini. Dalam acara itu Genthong didapuk menjadi dalang dan memandu acara yang salah satunya menghadirkan putri almarhum Gus Dur, Presiden IV Republik Indonesia, Alissa Wahid.
Genthong adalah pribadi yang unik. Ia sutradara, ahli dalam ilmu peran tapi akhir-akhir ini sibuk juga jadi dalang wayang kulit. Ia hidup bersahaja (Thong, aku butuh waktu lama untuk memilih kata ini hahaha…) di Jogja bersama keluarganya, menggeluti seni dan budaya, tinggal di rumah yang sejak kecil ia tumbuh dan berada.
Dalam sebuah alur wawancara yang menyenangkan nan hangat di WhatsApp, berikut di bawah ini adalah petikannya:
[DV] Thong, kamu lebih sreg disebut sebagai sutradara atau dalang?
[Genthong] Sutradhalang hahahaha! Sutradara itu profesi utama sedangkan men-dalang adalah penyeimbang hidup, ben ra kenthir!
Apa pengaruh De Britto di darah senimu?
Kebalik! Darah seniku yang mempengaruhi De Britto waktu itu dan di MPK 2017 kemarin!
Hahahaha! Pede banget!
Aku tiga kali menyabet penata musik terbaik Festival Teater antar-SMA se-DIY. Dan sepertinya itu pertama kali penataan musik teater De Britto-Santa Maria (SMA Santa Maria –DV) menggunakan gamelan. Minimal mempengaruhi jumlah piala di sekolahan.
Sekarang pialanya masih ada di De Britto?
Ada, walaupun ditaruh di paling bawah hahaha…
Tapi masa sih nggak ada pengaruh De Britto ke kamu?
Ada. De Britto membuatku lebih berani berekspresi dan eksperimen. Sampai sekarang.
Apakah pola pendidikan di De Britto saat itu sudah memfasilitasi siswa yang memiliki talenta seni sepertimu?
Sudah. Lha wong dulu itu siswa boleh nginep di sekolahan walaupun dho micek neng aula hahaha… Biasanya hal ini dilakukan ketika mau persiapan festival teater. Membangun setting dan lain sebagainya…
MPK 2017 yang lalu sukses berat. Peranmu di sana jadi apa?
Kreator.
Penggagas ide wayang guru.
Membuat naskah dibantu Clink (rekan seangkatannya, De Britto 1992 -DV) dan urun rembug dari kawan-kawan lainnya.
MPK 2017 kemarin berbeda dari MPK-MPK sebelumnya. Ada ‘rundingan’ apa di kawan-kawan panitia dari angkatan 1992 hingga jadi acara yang ciamik?
MPK 2017 dibuat berbeda karena angkatan kami ingin membuat statemen menyangkut kebangsaan dan supaya ada variasi bentuk acara MPK nggak hanya 3M: Misa, Mangan (makan), Misuh-misuh.
Tapi secara tak langsung, kesuksesan kemarin membuat ‘standard’ pelaksanaan MPK di tahun-tahun berikutnya lebih tinggi lagi lho?
Hehehe, kami tidak berpikir ke situ. Kalau angkatan-angkatan berikutnya yang akan jadi panitia MPK mendatang mau kembali ke format 3M ya tak masalah. Bebas!
Bicara soal tema yang diangkat di MPK lalu, kebangsaan dan kebhinekaan, menurutmu apa yang bisa dilakukan De Britto sebagai institusi pendidikan dalam iklim sosial masyarakat yang bergolak seperti sekarang ini?
Terjun langsung!
Jangan kebanyakan sarasehan atau diskusi. Bukan saatnya nggambleh, tapi beraksi. Bukan saatnya menebar wacana tapi ajur-ajer dengan masyarakat!
Orangtua dan leluhurmu orang-orang seni juga?
Iya.
Alm. Bapak alumni De Britto, menguasai hampir seluruh alat musik, dan bisa nyanyi. Ibuku, lulusan Stece (Stella Duce 1 -DV) juara dua bintang radio tahun 60-an. Waktu itu juara satunya Pranawengrum Katamsi. (Pranawengrum Katamsi sering disebut sebagai ‘Ibu Seriosa Indonesia’, istri Amoroso Katamsi yang seorang bintang film, ibu kandung Aning Katamsi -DV).
Kalau anakmu punya talenta seni apa kamu tetap akan menyekolahkannya ke De Britto dan memiliki harapan sama bahwa di sana juga masih memfasilitasi pendidikan seni?
Bagiku, talenta seni bisa berkembang di manapun. Nek masalah disekolahke JB (De Britto -DV) atau nggak, murni pertimbangan finansial. Larang soale hahahaha…
Bicara soal larang/mahal, apa hal itu karena kamu kerja di bidang seni sementara kalau kerja di bidang lain kamu tak akan mengalami masalah finansial?
Lebih baik aku Aku mengeluh soal finansial daripada kejiwaan. Banyak orang stress gara-gara pilihannya. Kalau masalah finansial itu relatif karena orang nggak mengenal kata cukup.
Aku nggak memilih seni tapi memang kuyakini inilah jalan hidupku. Kalau memang aku diberi jalan di bidang non-seni, dulu kuliahku pasti sudah selesai. (Genthong sempat kuliah di Institut Manajemen dan Bisnis Indonesia serta D3 Broadcasting UGM, keduanya tak tuntas -DV).
Kawan-kawan seangkatanmu banyak yang sudah meraup sukses kalau takaran sukses itu adalah harta kekayaan dan jabatan. Kamu pernah mikir menyesal memilih jalur seni?
Ndak menyesal. Untuk apa disesali? Lha wong saya dan keluarga happy-happy saja menjalani ini semua.
Simak pesan Genthong nan lucu dan unik tentang ke-debritto-an dan hidup serta cara menjalaninya di bawah ini: