Bonifasius Gunawan Wibisono adalah tokoh kesembilan dari tujuh puluh Tokoh Alumni SMA Kolese De Britto yang kurencanakan. Lulusan tahun 1986 yang juga adalah Presiden Direktur PT Sumber Inti Pangan ini dikenal dengan nama Mas GW atau Mas Nano.

Namanya sempat mengemuka dalam ajang Pemilihan Presiden Paguyuban Alumni SMA Kolese De Britto, 2015 lalu. Di tengah ramainya kampanye dan namanya begitu diidolakan, tiba-tiba Mas GW mengundurkan diri. Peta persaingan pun berubah total!

Setelah menghilang tak seberapa lama, Juni 2016, namanya kembali menyeruak, Mas GW membeli sepeda motor milik Pak Harjo, mantan guru mata pelajaran Kimia di SMA Kolese De Britto, yang beritanya memviral ke seantero Tanah Air.

Melalui WhatsApp, seminggu belakangan aku bercengkrama dengannya. Kami membicarakan banyak hal, tentang pandangannya terhadap karir dan keberhasilan, Tuhan serta apalagi kalau bukan alasan kenapa ia dulu mundur dari ajang pemilihan presiden.

Selengkapnya di sini.

[DV] Mas, bagaimana melukiskan hidupmu saat ini? Kamu puas dengan semua yang sudah didapat?

[GW] Di usia menjelang setengah abad ini (Mas GW akan berulang tahun pada 26 April -DV), kalau bicara dalam ukuran materi dan duniawi pasti tidak akan ada puasnya. Saya memaknai puas karena sudah bisa membawa manfaat bagi karyawan-karwayan saya; sekitar 250-an warga Kabupaten Kuningan dan 50-an di Tangerang.

Saya puas karena sudah mempunyai usaha sendiri, yang merupakan impian saya sejak menjadi profesional, puas karena diberi kesehatan yang prima, puas karena diberi berkat yang luber-luber.

Mas GW kan dulu pegawai biasa. Menurutmu, apa kunci mengubah jalan hidup dari pegawai jadi pengusaha?

Kuncinya ada empat. Nyali, teteg (tegar/mantap -jw), persistence dan kemampuan untuk menerima serta bertahan dalam kondisi susah.

Mas, banyak kawan memilih menjadi pengusaha bukan karena punya mimpi tapi justru karena malas diperintah. Menurutmu apakah mentalitas seperti ini bisa dijadikan pegangan untuk jadi pengusaha yang sukses?

Kalo mimpinya cuma malas diperintah, itu hanya capital yang terlalu kecil untuk jadi pengusaha yang ‘nendang’ dan sukses…

Seseorang harus punya mimpi yang besar untuk menjadi pengusaha sukses. Harus punya mimpi setinggi mungkin, kalau toh nggak sampai masih bisa nyangkut di awan Cumulonimbus hahaha…

Terakhir jadi pegawai kapan, Mas?

Desember 2002.

Keputusan apa yang dulu membuatmu mantap untuk keluar dari pekerjaan?

Berangkat ke tempat kerja lama sudah nggak ada gairah dan nggak ada semangat lagi, usaha yang mulai dirintis sudah mulai kelihatan hasilnya dan pengin memacu adrenalin rush lagi Mas!

Adakah titik terberat yang pernah kamu alami setelah memutuskan jadi pengusaha?

Titik terberat adalah pada saat sadar kalo posisi balance sheet minus dan posisi decline terus. Seluruh badan gringgingen (kesemutan -jw) membayangkan bayar gaji karyawan pakai apa, bayar ke vendor pakai uang yang mana, besok bisa makan atau tidak. Itulah titik nadir itu, Mas. Posisi secara teknis bangkrut, terjadi pada Juni 2005.

Waduh! Lalu bagaimana titik baliknya? Apakah yang diusahakan Mas GW waktu itu?

Titik baliknya ya kita menghentikan bleeding itu.

Caranya?

Pertama, kami melakukan efisiensi besar-besaran, mengencangkan ikat pinggang dan potong biaya yang tak diperlukan. Kedua, kami mengadakan review semua penjualan, memilah dan memilih produk yang margin tinggi dan mudah jualannya. Itu yang didorong dan di gas polll! Ketiga ,kami lari sekencang-kencangnya untuk menciptakan produk baru dan cari kostumer sebanyak-banyaknya. Keempat, roadshow ke para vendor untuk restrukturisasi term of payment.

Berapa lama hal itu dilakukan?

Setahun! Setahun berikutnya kegembiraan mulai membuncah karena grafiknya mulai naik menanjak.

Saat ada di titik nadir tadi, pernahkah berpikir untuk jadi pegawai lagi?

Sama sekali tidak!
Prinsip saya bakar perahu jadi yang ada di pikiran saya waktu itu adalah bagaimana mengatasi kebocoran secepat mungkin, simultan dan downsizing spending kita. Pokoknya pantang buat kita untuk jadi pegawai lagi…

Bagaimana Mas Nano memandang Tuhan dan Iman dalam karir dan usaha?

Hmmm…Providentia Dei (penyelenggaraan ilahi –Latin). Semua berkat dan karir yang moncer ini adalah karena Penyelenggaraan Allah. Ikhtiar kita adalah bekerja keras, bekerja cerdas dan bekerja ikhlas. Sisanya biarlah Allah yang menyelenggarakan.

Saat Mas GW mulai usaha kan sudah berkeluarga. Bagaimana mempertimbangkan untuk tetap maju berusaha sementara di satu sisi Mas Nano pasti juga gak mau lifestyle yang sudah ada terancam bergeser JIKA usaha gagal?

Mas, keluarga buat saya adalah segala-galanya…
Waktu krisis, anak saya baru umur 2 tahun. Untung saja sejak kami menikah tahun 1997, kami biasa hidup sederhana dan apa adanya. Jadi kami menikmati lifestyle dari yang kami punya.

Pada waktu krisis pun saya tidak cerita detil ke istri, karena kalo cerita detil pasti hanya akan menambah kepanikan saja. Saya hanya ngomong, kita lagi prihatin, kita lagi suffer, yuk kita kencangkan ikat pinggang.

Dari situlah saya bergerak.
Cicilan mobil saya ‘cut’ dan mobil saya jual. Kemana-mana saya naik motor dan kalau ke kantor naik Bus Damri. Untunglah istri dan anak saya mengerti dan mendukung kondisi seperti saat itu.

Bicara soal De Britto, Mas. Seberapa besar pengaruh pendidikan De Britto dalam kehidupanmu?

Pembentukan Karakter di De Britto saat jaman saya dulu sangat kental sekali. Kita diberi kebebasan tapi yang bertanggung jawab.

Kita bebas mengekspresikan diri kita sendiri, tidak takut menyampaikan pendapat, tidak takut salah, ngeyelan….dan hal ini terbawa terus sampai kuliah, kerja profesional dan bahkan hingga saat ini…

Kalau tak salah, Mas GW waktu itu yang beli motor Pak Harjo yang beritanya lantas memviral itu?

Iya hahaha…

Pak Harjo dan motornya
Pak Harjo dan motornya

Ceritanya bagaimana kok bisa beli?

Lha waktu itu khan ada niatan dari Pak Harjo untuk menjual motor karena butuh beli pompa air di rumahnya. Waktu itu saya rasan-rasan (diskusi) dengan anak-anak DBBC (De Britto Business Community) dan akhirnya DBBC berinisiatif untuk meng-organize acara pelelangan motornya.

Singkat cerita, dalam lelang itu akhirnya saya dan Mas Wawan Dalbo (angkatan 1986) memenangkan lelang dengan harga 15 juta padahal kita sudah budget-in sampai 50 juta.

Sekarang diapakan motornya, Mas?

Masih saya simpan di rumah saya di Serpong. Ini mau saya ‘retro-fit’ dan mau saya taruh di rumah saya di Jogja.

Mas, ini barangkali akan jadi pertanyaan terpenting… Tiga tahun silam, Mas GW sempat mencalonkan diri menjadi capres Paguyuban tapi lantas mundur. Ada apa sebenarnya?

Jujur, Mas… semua terjadi karena saya menganggap resistensi terhadap angkatan kami (1986) sangat tinggi.

Buat sebagian alumni yang sudah malang-melintang di paguyuban, kita ini dianggap sebagai alien karena mungkin gaya kami yang tidak pernah muncul (di paguyuban –DV), tapi tiba-tiba muncul dan langsung bikin gempar dunia persilatan..
Mungkin gaya kami yang dianggap nyeleneh oleh para senior. Maka untuk kebaikan bersama saya mundur…

Nggak sayang? Waktu itu kan Mas GW seingat saya sangat diunggulkan?

Nggak. Saya nggak punya ambisi apa-apa selain berbuat kebaikan untuk paguyuban.

Mas GW tadi bilang gaya angkatan 86 bikin gempar ‘dunia persilatan’? Bagaimana sejatinya?

Kami terbiasa ngomong sak enak udele dewe (seenak sendiri -jw), kesannya sok dan high profile… But honestly esprit de corps kita tinggi… Bocahe apikan kabeh.

Kira-kira dengan gaya 86, kontribusi apa yang seharusnya bisa diberikan ke paguyuban dan sekolah, Mas?

Satu hal yang menjadi ciri khas lulusan JB dan itu juga ada dalam angkatan kita adalah Sense of Togetherness yang tinggi.

Itu adalah modal besar kita!
Dengan semangat kebersamaan yang besar ini dan disertai dengan pengalaman dengan jam terbang tinggi dari berbagai latar belakang profesi, apabila disinergikan akan menjadi kekuatan yang besar baik untuk paguyuban dan sekolah.

Kita identifikasi apa sich kebutuhan paguyuban dan sekolah saat ini setelah ter-diagnosa, kita bisa bisa cari solusi bersama-sama dari kebutuhan paguyuban dan sekolah dalam bingkai semangat kebersamaan dan perasaan memiliki yang tinggi.

Menurutmu apa kebutuhan paguyuban dan sekolah saat ini?

In My Humble Opinion, Paguyuban harus menjadi rumah yang nyaman buat seluruh alumni. Rasa kebersamaan dan semangat egaliter harus tetap dijaga, paguyuban menjadi wadah dan saluran berkat untuk alumni yang kurang beruntung, buat program yang berdampak langsung ke alumni.

Sedangkan Sekolah harus menjadi tempat yang homey juga buat siswa, dimana anak-anak kita bisa mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya.

Di era disruption ini, sekolah harus bisa me re-engineer dirinya sendiri, mengikuti perkembangan jaman tapi tidak kehilangan identitas sebagai lembaga pendidikan ignasian dimana pembentukan karakter siswa yang bebas dan bertanggung jawab selalu ada.

Lalu apakah yang dilakukan paguyuban saat ini sudah cukup meng-cover hal itu?

Jujur aku gak tahu ya Mas dan belum merasakan ya…Aktifitas lebih banyak dilakukan oleh para individu alumni.

Tahun depan pilpres paguyuban, Mas GW mau coba lagi?

Dengan penuh kerendahan hati, saya sama sekali tidak berhasrat, Mas Donny. Lebih seneng di luar sistem tapi selalu siap cancut tali wondo kalau JB membutuhkanku.