Pengalaman menjadi cah De Britto cukup inspiratif untuk membentuk diri menjadi sosok pendidik alias guru. Banyak alumni De Britto yang di kemudian hari berprofesi sebagai pendidik; entah labelnya guru, dosen, coach, trainer, atau bahkan motivator. Ada kekhasan yang muncul pada pendidik cetakan De Britto. Kalau menyitir ucapan khas salah seorang alumni JB 1986, “Ada Ambune De Britto.”

‘Ambune’ alias bau De Britto muncul dari proses pendidikan di De Britto, entah selama 3 atau 4 tahun. Bau De Britto yang dibawa oleh para pendidik itu adalah semangat mendewasakan dan membentuk rasa tanggung jawab pada siswa. Entah sadar atau tidak, para pendidik jebolan De Britto juga menunjukkan semangat ‘rebel’ , inovatif dalam metode pendampingan di lembaganya masing-masing.

Tanggung jawab dan kebebasan adalah dualitas karakter yang kita terima satu paket selama proses pendidikan di De Britto. Bagi alumni JB tahun 1978 – 2018, makalah Romo Oei Tik Djoen SJ sudah bukan naskah asing. Makalah yang menjadi dasar konsep Pendidikan Bebas ala De Britto itu menjadi semacam bacaan wajib bagi para siswa JB, dan tentunya bagi para guru JB. Nafas dualitas karakter tadi (tanggung jawab dan kebebasan) berakar dari tulisan Romo Oei Tik Djoen SJ. Kalau ditarik lebih jauh lagi, tanggung jawab dan kebebasan berakar dari Latihan Rohani St Ignatius Loyola.

Guru yang ‘ada ambune De Britto’ tidak bermimpi mengubah lingkungan sekolahnya menjadi De Britto banget. Selain itu tidak kontekstual, juga tidak mungkin seorang diri jadi jagoan dan pahlawan untuk menempelkan bau De Britto pada sekolah tersebut. Tetapi guru yang ‘ada ambune De Britto’ mungkin bisa memberikan sentuhan berbeda pada para siswa yang ia didik.

Karakter kebebasan memang tidak bisa di copy-paste pada banyak lembaga sekolah. Contoh pada pendidikan teknik, karakter kebebasan akan jadi sesuatu yang kontraproduktif. Tetapi karakter tanggung jawab adalah sesuatu yang universal, yang pasti bisa dibawa oleh guru dengan ambune De Britto pada para siswanya. Guru yang ‘ada ambune De Britto’ juga punya kekhasan, yaitu mendewasakan anak didiknya, sesuai tahapan usianya. Karakter tanggung jawab juga lekat dengan ciri kedewasaan seseorang.

Guru dengan bau De Britto tentu tidak lepas dari ekses negatif, yaitu faktor ketaatan dan kerendahan hati. Soal kerendahan hati ini, sebetulnya sejalan dan segaris dengan karakter para Jesuit yang mendidik kita di kolese. Kerendahan hati adalah salah satu masalah abadi yang lekat pada pribadi para Jesuit. Maka kalau guru dengan bau De Britto memunculkan kesan sombong, atau dianggap sok tahu oleh rekan-rekannya, bagi saya itu masuk akal. Itu juga bagian dari produk pendidikan selama di kolese.  

Soal faktor ketaatan, bukan berarti guru yang ‘ada ambune De Britto’ selalu rebel, memberontak, asal beda, atau sulit untuk taat pada sistem pendidikan. Guru tetap bisa taat, tetapi kadar ketaatannya mungkin berbeda dengan guru yang lain. Rasanya akan hambar kalau ketaatan itu sekadar ikut arus, tanpa mendapat penjelasan yang masuk akal. Kalau ada sesuatu yang dirasa ganjil terjadi dalam sistem pendidikan dan pengajaran, hati nurani guru yang ‘ada ambune De Britto’ akan bergejolak. Guru yang ‘ada ambune De Britto’ akan memunculkan pertanyaan atas keganjilan tersebut, sementara mungkin guru yang lain akan memilih diam demi loyalitas dan ketenteraman.

Nah, itulah gambaran tentang guru yang ‘ada ambune De Britto’. Semoga para pendidik tetap setia membawa karakter tanggung jawab dan kebebasan dalam mendidik para siswanya.

Selamat merayakan Hari Guru, 25 November.