Nama Handoko Wignjowargo muncul sebagai Tokoh Alumni SMA Kolese De Britto yang kelima dari tujuh puluh yang kurencanakan. Mas Han, begitu aku memanggil, adalah alumni tahun 1983.
Lahir di Purworejo, 8 Oktober 1964, Mas Han menuntaskan sembilan tahun pendidikan pertamanya di kota kelahiran. Lulus dari De Britto, ia pergi ke Jakarta. Kuliah di Fakultas Ekonomi Manajemen Universitas Tarumanegara Jakarta dan FISIP Komunikasi, Universitas Indonesia. Lepas dari sana, Mas Han menuntut ilmu hingga ke Negeri Paman Sam, mengambil gelar MBA di Wichita State University, Wichita, Kansas, USA.
Berhenti?
Belum!
Tak lelah belajar, Mas Han melanjutkan studi ke Doktoral Program Strategic Management di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Aku mengenal Mas Han melalui WhatsApp grup. Sejauh yang kukenal, sosoknya supel, mulai dari mantan supir, mantan pegawai hingga walikota dan presiden pun dikawaninya. Status dan foto yang dipajang di Facebook dan Instagram selalu ramai. Ratusan orang menghujani ‘Like’ dan puluhan lainnya berkomentar yang uniknya, dibalasnya satu-per-satu.
Tahun lalu aku berkesempatan bertemu langsung dengannya di Sydney. Perjumpaan itu membuatku berasumsi bahwa Mas Han memang layak berkibar dengan MAESTRO Consulting-Coaching-Communicating.
Kenapa?
Ia jago betul meneliti karakter orang. Mata dan gerak tubuhnya berobservasi, kata-kata yang dilontarkan kita rasakan benar-benar ‘tailor made’, bagai puyer yang diramu, bukan obat generik nan basa-basi.
Beberapa hari lalu, melalui jalur Whatsapp, aku mengajak Mas Han berbincang tentang banyak hal dan berikut ini adalah petikannya…
[DV] Apa yang paling paling menarik dalam kontribusi yang diberikan De Britto terhadapmu, Mas?
[HW] Kolese de Britto memberikan kontribusi besar terkait dengan pembentukan kepribadian karena pada saat di Kolese de Britto adalah masa dimana sedang “mencari kepribadian”.
Nilai-nilai seperti “a man for and with others” dan “bebas, bertanggung jawab, dan memasyarakat” memberikan warna yang signifikan dikombinasikan dengan nilai-nilai yang ditanam di keluarga dan masyarakat.
Saya tidak bisa membandingkan dengan institusi pendidikan yang lain karena saya hanya sekolah di Kolese de Britto pada masa itu dan karena untuk setiap masa ada kontribusi masing-masing.
Apakah itu berarti kamu merasakan kesinambungan dari SMA lalu ke kuliah? Kenapa aku tanya begini karena kadang ada yang merasa ‘kecewa’ dengan kuliahnya yang tak ‘semeriah’ masa SMA-nya di Debritto.
Saya bersyukur selalu bisa mengambil yang terbaik dari apapun yang saya hadapi. Mungkin karena saya percaya bahwa “happiness is a decision not a situation”. Saya senang selama di Kolese de Britto, tapi saya senang juga di SMP saya (sebelumnya) dan di perguruan tinggi saya (sesudahnya).
Kebetulan setelah lulus Kolese de Britto saya kuliah di dua tempat: di Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara dan di Jurusan Ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Kebetulan pula di kedua fakultas dan universitas itu jarang bertemu alumni Kolese de Britto.
Punya guru kesayangan?
Beberapa misalnya: Pak Kasiyo, Pak Mantri Supit, Pak Kristanto (Wakepsek), Pak Tan, Pak Pratolo, dan sejumlah yang lain.
Saya tidak punya satu guru favorit. Dari setiap guru saya belajar dua sisi dalam kehidupan yang ada dalam setiap pribadi guru: baik dan buruk. Saya juga belajar dari sejumlah non guru seperti: Om Tong Djiet, Pak Darmo, bahkan Bob dan Man.
Nah ini menarik. Secara umum, apa sisi buruk dari para guru itu?
Kolese de Britto lahir dan besar bersama nilai-nilai luhur yang sengaja ditanamkan. Nilai-nilai tadi baik dan benar dan merupakan syarat yang perlu. Tetapi jaman berubah dan terus berubah, nilai-nilai itu tidak memenuhi syarat cukup.
Ada sisi dimana guru-guru mengandalkan semata-mata nilai-nilai yang ada. Padahal perubahan yang berlangsung cepat (dan makin cepat) menuntut para guru untuk terus maju mengubah kompetensi dan cara berpikir secara terus-menerus.
Ada guru yang puluhan tahun mengajar mata pelajaran yang sama, mengajarkan materi yang sama, dan mengajar dengan cara yang sama. Ini kerugian yang besar buat guru, murid, dan untuk Kolese de Britto.
Kenangan unik saat sekolah di De Britto apa?
Saya sempat mau pindah dari Kolese de Britto di semester awal. Ada “cultural shock”, biasa sekolah di bawah suster-suster yang sangat disiplin menjadi di bawah pastor-pastor Yesuit yang longgar.
Tapi semua saya lewati dengan baik. Orang tua menganjurkan untuk melalui dulu tahun pertama. Saya lewati semester kedua, saya tetap di Kolese de Britto dan saya mencintainya sampai sekarang.
Pendidikan De Britto bagus bukan hanya karena guru tapi juga elemen-elemen lain seperti staff-staff non guru, kawan-kawan, lingkungan. Setujukah kamu? Kalau setuju, value apa yang paling besar dibandingkan yang lainnya?
Sebuah institusi pendidikan bagus bila stakeholder-nya semua memberikan kontribusi bukan hanya jangka pendek melainkan jangka panjang. Mereka yang terutama adalah: manajemen sekolah, guru, murid, alumni, orang tua murid, dan masyarakat. Dan itu saling kait-mengait.
Ada titik dalam hidupmu saat kamu keluar dari ‘kerja untuk orang’ ke kerja sendiri bikin perusahaan. Pertimbangan yang paling kuat apa Mas?
(Mas Handoko saat ini mengelola beberapa badan usaha. Selain menjadi Managing Partner di MAESTRO Consulting-Coaching-Communicating dan Senior Associate di MATE (Mitra Andalan Training Eksekutif, PT), ia juga menjadi president director di Amara Primatama (Hotel Amaris Yogyakarta), Amara Primadua (Hotel Artotel Jogja) dan Amara Primatiga (Amaris Semarang) – DV)
Begini, selesai kuliah, saya membagi hidup saya ke dalam tiga tahapan.
Sepuluh tahun pertama, bekerja untuk orang, menjadi eksekutif puncak, dan ternama. Sepuluh tahun kedua, bekerja sesuai hobi dan mendapatkan berkat komersial sebanyak-banyaknya. Selanjutnya, tetap menjalani hobi sambil terus berbagi di bidang edukasi, sosial, dan spiritual yang bukan agama.
Pada saat saya keluar memang pas memasuki sepuluh tahun kedua. Semua sesuai rencana bahkan setahun lebih cepat dari yang direncanakan. Itu semua karena Tuhan baik …
Dalam sepuluh tahun ketiga yang kamu rencanakan kamu bilang mau menjalani hobi dan terus berbagi termasuk bidang spiritual yang bukan agama. Apa pembeda terkuat antara spiritual dan agama? Kenapa harus ditekankan ‘bukan agama’? Agama salah apa?
Agama tidak salah, makanya dipeluk. Yang suka salah pemeluk agama.
“…. aspek spiritual menghilangkan sekat-sekat formal agama …” demikian yang pemikiran Romo Mangun …
OK. Kembali ke dunia pendidikan. Dunia memasuki transformasi teknologi dan industri 4.0. Salah satu penandanya adalah akan banyak terjadi disrupsi dalam di dunia pekerjaan. Kalau kamu jadi orang yang bisa memberikan saran pada De Britto, apa saran terbaikmu supaya De Britto bisa menyiapkan manusia-manusia yang siap menghadapi era itu?
Menyadarkan bahwa disrupsi pasti terjadi dan pendisrupsinya tidak pasti. Untuk itu butuh yang namanya agility (kemampuan untuk mengubah cara pikir dan cara untuk mengerti secara cepat dan mudah -DV) menghadapi semuanya itu. Untuk menjadi agile harus banyak pengetahuan, skill dan attitudes dibutuhkan.
Sepenting apa pembangunan karakter dalam pendidikan kita? Adakah itu akan mengambil peran dalam menentukan agility yang terbentuk saat peserta didik siap kerja nantinya?
Bayangkan sebuah sepeda roda dua. Sumber kekuatan sepeda ada di roda belakangnya. Dia tersambung dengan pedal oleh rantai. Terus apa gunanya roda depan? Dia memberikan arah dan menjaga keseimbangan.
Roda belakang yang memberi kekuatan adalah knowledge dan skill. Roda depan adalah attitudes atau sering dikatakan sebagai characters.
Seorang yang memiliki knowledges dan skills yang tinggi tidak akan pernah sukses bila attitudes-nya salah atau bermasalah.
Ngomong-omong, Maestro itu tentang pendidikan karakter juga?
Leres sanget!!!
Knowledge Skill Attitude dimixture dengan komposisi yang pas ibarat dokter memberikan obat berupa puyer. A tailor
made solution …
Klien-klienmu ada dari bank-bank serta brand ternama di Tanah Air. Kalau boleh tahu tarip per hari yang diterima untuk memberi sesi berapa? Konon tembus angka ratusan juta, Mas?
Hahaha, jangan bicara angka! Angka itu relatif…Sejauh manfaat yang didapatkan dirasa lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan, maka orang akan terus menggunakan jasa kami.
Demikian, DV!