Menginjak di bulan November, ingatan kita lekat pada 10 November hari pahlawan. Pada sudut lain, November juga merupakan bulan Arwah bagi orang Katolik. Dua dimensi ini mengajak kita berpikir bahwa pahlawan adalah mereka yang sudah meninggal dan memberikan kontribusi besar bagi umat manusia. Kita memiliki pertanyaan reflektif, apakah dari belasan ribu alumni De Britto ada yang sudah menjadi pahlawan? Tanpa data konkret, batin kita akan mengucap, “Ada!”

Kalau membahas tokoh-tokoh alumni De Britto yang heroik, kita bisa panjang lebar. Tetapi ada hal yang lebih mendalam untuk kita lihat, mengapa dari kampus De Britto bisa melahirkan sosok-sosok heroik itu? Pola pendidikan macam apa yang bisa menghasilkan jiwa kepahlawanan?

COMPASSION

Bagi para alumni De Britto generasi 2000 hingga saat ini, mereka mengenal slogan 3C, 4C, 5C atau sekarang 5C + 1L. Entah berapa pun huruf C nya, tetapi ada satu nilai  yang konsisten dipakai, yaitu Compassion. Terjemahan bebasnya, compassion adalah sikap belarasa, tenggang rasa, merasa senasib sepenanggungan dengan sesama manusia. Orang yang berjiwa compassion akan memunculkan tindakan-tindakan yang heroik untuk menolong orang lain. Kalau alumni ditanya, “mengapa menolong orang lain?” Jawaban paling sederhana adalah “Mesakke”. Kasihan. Tetapi di balik kata mesakke itu, ada keinginan untuk membuat orang menjadi lega atau bahagia. Mungkin pertolongan dengan dasar compassion tidak selalu menyelesaikan penderitaan liyan. Tetapi setidaknya ada rasa bahagia yang muncul dalam batin orang tersebut.

ERUPSI MERAPI 2010

Saya ingat satu peristiwa yang terjadi di sekitar tahun 2010, saat momentum erupsi Merapi 2010. Kala itu aula De Britto dialihfungsikan menjadi tempat pengungsian. Di hari akhir masa pengungsian, para penyintas ingin kembali ke rumahnya, namun tidak ada transportasi. Lantas salah seorang siswa yang keluarganya memiliki truk dan kebetulan juga dia tahu cara menyetirnya, membawa truk ke sekolah untuk mengangkut para penyintas kembali ke dusun mereka. Jadilah para penyintas pulang ke rumah dengan truk, disopiri oleh siswa De Britto. Peristiwa semacam itu bisa terjadi karena timbul belarasa alias compassion. Pilihan tindakan itu pula yang sudah masuk kategori heroik. Dengan kata lain, dia sudah jadi pahlawan bagi puluhan penyintas.

Kalau mengingat cuplikan peristiwa tersebut, pasti para alumni juga bisa mengingat banyak sekali peristiwa heroisme yang muncul semasa sekolah, atau ketika sudah lulus dari De Britto. Lewat kisah-kisah kecil itulah kita bisa membangun asumsi bahwa yang namanya pahlawan tidak identik dengan militer, perjuangan fisik angkat senjata, atau yang sudah meninggal. Siapapun bisa  menjadi superhero, bisa menjadi pahlawan, asalkan punya semangat dasar compassion.

Menjadi pahlawan tidak melulu soal mengorbankan nyawa, tetapi yang lebih utama adalah dampak dari pengorbanan itu sendiri. Menyitir dari asas dan dasar Latihan Rohani tentang Sarana dan Tujuan, korban nyawa atau harta adalah sarana. Tujuan kecilnya adalah menegakkan kebenaran dan kebaikan umat manusia. Tujuan besarnya adalah demi kemuliaan Tuhan.

A.M.D.G.