Ungkapan belasungkawa pada keluarga yang berduka itu umumnya ditutup dengan pesan hangat, “Yang tabah ya… Yang ikhlas ya….” Sambil berpelukan dalam doa.

Terbersit pertanyaan, tabah itu seperti apa? Ikhlas itu bagaimana?

Lama pertanyaan itu menggantung di kepala saya sampai Senin (14/8) saya menerima pesan dari Pak Karesman Saragih, ayahanda almarhum Kristupa Saragih. Biasanya, WA beliau berupa gambar berisi kalimat-kalimat motivasi. Kali ini undangan.

Memenuhi undangan itu, Kamis (17/8), saya dan beberapa sahabat Kristupa, hadir di Puri Santrian, Sanur. Disambut Gus Ngurah, pemilik hotel, Pak Karesman hadir bersama Ibu dan kedua adik Kristupa: Bagus Budi Tama Saragih dan Dian Saragih. Adik kedua Pittor Saragih tak hadir, menemani si sulung bertugas sebagai pasukan pengibar bendera di Kedubes RI di Singapura.

Puri Santrian adalah “rumah” Kristupa di Bali. Almarhum punya kamar khusus di sini. Ia juga sangat dekat dengan seluruh keluarga.

Senin (3/7) petang, ketika stroke itu menyerang, dan lima hari kemudian meninggal, Kristupa sedang melangsungkan syuting film tentang salah satu menu andalan hotel ini. Kami ditunjukkan di mana lokasinya. Kami diceritai bagaimana menit-menit menegangkan malam itu berlangsung.

Cerita itu dibagikan di resto tepi pantai tempat kami duduk melingkar, tak jauh dari tempat Kristupa bernyanyi dua malam sebelum ia jatuh sakit. Keluarga Kristupa menyimak dengan khidmat. Juga saya yang baru pertama kali memasuki hotel yang dipenuhi tamu-tamu dari Eropa dan Australia ini.

“Tujuan kami bertemu dengan saudara-saudara semua…,” Pak Karesman membuka pembicaraan dengan lembut. “Kurang keras, Pak,” sahut Bagus, putera ketiga. Si bungsu menimpali, “Kaya kalau lagi marahi Dian itu lho!” Sontak kami tertawa melihat keseruan keluarga ini. Saya ikut-ikutan nimbrung, “Kurang Batak, Pak!”

Dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya, Pak Karesman bertutur. Sejatinya berat beliau datang kembali ke Bali. “Namun kalau kami tidak ke sini kabut itu tidak hilang,” ujarnya berumpama.

“Kami ingin sampaikan, tanpa saudara-saudara, tak mungkin kami berdiri tegak waktu itu. Kalian batu karang kami,” kata bapak lima putra-putri ini mengenang saat-saat terakhir mendampingi sulungnya di RS BROS dan RS Sanglah, Denpasar. Dian tak kuasa membendung air matanya.

Saya tertunduk. Tidak menangis. Tangisan saya untuk Kristupa hanya sekali: ketika menyorongkan petinya ke kargo Garuda Indonesia di Bandara Ngurah Rai (9/7) pagi. Itu penerbangan terakhirnya.

Mendengarkan kata-kata Pak Karesman, saya membatin, tegar sekali orang ini. Bukan saja kata-katanya penuh syukur dan penghiburan, kebesaran hatinya mendatangi tempat anaknya hidup di saat-saat terakhir tentulah perjalanan yang tak ringan. Tabah dan ikhlas beliau tunjukkan dengan membawa serta keluarga merengkuh kematian itu dengan gembira.

Sebelum tiba di Bali, mereka singgah di Jogja, mengemasi barang-barang Kristupa di sana. Bakpia pathuk mereka usung untuk oleh-oleh. Dari Bogor, mereka pun membawakan oleh-oleh khas berbahan talas. Aih, tersirat sekali pesannya, “Kiranya Tuhan yang membalas.” Amin.

Yang saya tak duga, “Saya pesankan langsung hio Simalungun dari kampung untuk saya berikan satu-satu. Bukan saya beli di Tanah Abang atau Pasar Senen.” Lalu kami dikalungi ulos. Memang ini bukan upacara adat pemberian marga, namun ungkapan ini sungguh bermakna, “Sejak sekarang kalian menjadi Keluarga Saragih.”

Ups, tiba-tiba kami Gus Ngurah, Bli Dewandra Djelantik Monica Lee Wulandari Ayu Carmen Henrycus Susanto Marcus Indrarso Kunto CoachWriter jadi Batak. Padahal, Kristupa saja sudah jadi orang Bali. Panggilannya Gus Tu.

Belajar dari Keluarga Saragih yang ringan sekali melepas kematian, sejak kemarin, saya ingat-ingat untuk tak mengakhiri ucapan ‘turut berdoa cita’ dengan embel-embel “yang tabah ya… yang ikhlas ya….” Lha, sekarang, yang harus tabah dan ikhlas siapa coba?

Horas!

Bali, 18 Agustus 2017
AA Kunto A CoachWriter