Sebuah film pendek yang berjudul “Jowo Cino De Britto”, cocok untuk memicu diskusi. Film yang dirilis di YouTube pada tahun 2010 itu dibuat oleh para siswa SMA Kolese de Britto.
Seorang di antaranya adalah Wregas Bhanuteja. Setelah lulus SMA, Ia aktif membuat berbagai film. Salah satu karyanya yang berjudul “Prenjak” (In the Year of the Monkey), memberikan catatan sejarah untuk Indonesia di Festival Film Cannes, Prancis. “Prenjak” mengalahkan 1.500 film pendek dari seluruh dunia, dan meraih predikat film pendek terbaik di Cannes pada tahun 2016.
Film “Jowo Cino De Britto” berkisah mengenai “tradisi ejek-mengejek ras” di antara siswa. Siswa memanggil temannya berdasarkan identitas ras-dominannya. Kata “Jowo” untuk memanggil siswa yang ras-dominannya Jawa, dan “Cino” untuk panggilan siswa yang ras-dominannya Tionghoa. Film berdurasi 14 menit itu, menyajikan wawancara-wawancara mengenai “tradisi” khas SMA de Britto.
Bagi pihak tertentu, identitas digunakan untuk membuat perbedaan “kami” dan “mereka”. Pendek kata, siapa yang masuk “in group dan out group” merupakan satu hal yang jelas. Siswa de Britto memilih budi bahasa “ejek mengejek” sebagai cara kreatif untuk melenturkan batas identitas. Di tangan siswa de Britto, ejek-mengejek menjadi penyambung lidah suara rakyat menerabas batas ras, suku, agama.
Budi bahasa ejek-mengejek menjadi kekuatan transformatif bagi siswa de Britto untuk menyatakan bahwa hidup bersebelahan, bertetangga, berdekatan tempat tinggal dan bekerja dengan sesama warga Indonesia lain yang berbeda identitas adalah hal yang biasa. Sebuah proses belajar untuk cara hidup dalam dalam perbedaan ras, suku, agama dan antar golongan, belajar cara hidup meng-Indonesia
“Tradisi” ini sudah muncul sejak SMA de Britto berdiri 70 tahun yang lalu. Dan berkembang selama siswa bersekolah, lalu berlanjut setelah lulus. Belasan ribu alumni tetap memegang sikap tersebut sampai sekarang. Sebagai contoh, seorang alumnus Kolese de Britto tahun 1973, Haji Datuk Sweida Zulalhamsyah (HDSZ), yang berkultur Islam, terpilih menjadi Presiden ikatan alumni SMA Kolese de Britto yang adalah lembaga pendidikan dengan kultur Katolik. Ia memimpin alumni selama dua periode, pada tahun 2006-2012. Dan saat ini HDSZ memimpin AAJI (Asosiasi Alumni Sekolah Jesuit Indonesia). “Tradisi” sederhana ini menguat menjadi norma. Menjadi suatu etik terhadap penerimaan akan perbedaan.
Pada tahun 2018, etik ala de Britto ini, diangkat pada Lustrum XIV – peringatan 70 tahun SMA Kolese de Britto, untuk menjadi tema utama: “Harmoni dalam Keberagaman.” Ketua Panitia Lustrum, Heribertus Heri Istiyanto, menjelaskan tema itu diambil karena SMA Kolese de Britto memang Indonesia mini. Di mana sekolah yang semua muridnya laki-laki itu berasal dari berbagai latar belakang multikultur Indonesia. Sebagai buktinya, pada pembukaan lustrum Hari Sabtu 3 Februari 2018, sejumlah siswa mengekspresikan multikultur di Indonesia dalam berbagai bentuk fashion dan gesture.
Rangkaian kegiatan seperti pengobatan massal, napak tilas, lari bersama, serta reuni akbar, akan dipergelarkan dari tanggal 4 Februari 2018, bertepatan dengan pesta-nama Santo Yohanes de Britto, sampai puncak acaranya pada 19 Agustus 2018, saat sekolah berusia 70 tahun.