De Britto itu misteri. Sampai sekarang, dan entah sampai kapan. Selalu ada kerinduan untuk memecahkannya, sekaligus selalu ada kepasrahan untuk menerimanya begitu saja.
Misteri De Britto itu, entah mengapa, selalu menggerakkan saya untuk mencari tahu. Ada paradoks yang kentara saya rasakan. Suka kerja sendiri namun doyan ubyang-ubyung juga. Serius dalam bekerja tanpa kehilangan selera guyon. Berambisi ngejar duit namun tersinggung kalau pertemanan diukur dengan duit.
Saya De Britto. Apakah saya seperti itu? Bisa iya, bisa tidak. Tidak semua manuk De Britto bisa digolongkan sebagai manusia dengan sebutan saya di depan. Generalisasi tidak berlaku di De Britto, sebab pada dasarnya setiap pribadi unik. Jadi, kalau ada manuk De Britto yang selalu serius dalam segala hal, atau selalu guyon dalam setiap situasi, atau selalu suka menyendiri emoh kumpul-kumpul, atau hobi banget kumpul-kumpul lalu rapuh ketika menyendiri, itu bukan perkecualian. Itu kewajaran saja.
Komentar saya: semua wajar. Ada yang suka kumpul-kumpul, ada yang nyaman sendiri. “De Britto membekali kita sikap untuk menghargai keputusan masing-masing,” tegas manuk yang serius. Sedang manuk yang glenyengan berceloteh, “Sing ora ngumpul mungkin ana perutusan penting.”
Saya memilih ngumpul jagongan jika ada waktu. Jika sedang ke luar kota pun sebisa mungkin saya temui manuk-manuk lain di kota tersebut, dengan agenda tanpa agenda: kenalan, wedangan, jagongan. Nambah paseduluran.
Syukurnya, sependek perjalanan saya, selalu ada pelajaran berharga dari perjumpaan-perjumpaan dengan manuk De Britto. Selalu. Entah karena memang pada dasarnya begitu, atau saya saja yang gumunan dan gemar merekam hal yang remeh-temeh.
Seperti semalam. Dalam obrolan yang di Warkop BC, di kawasan Marlboro, Denpasar, ada cerita serius antara Andry (96) dengan Gonel (94). Keduanya arsitek. Nyambung to? Andry berdiri sendiri membuka usaha, Gonel mendirikan usaha orang lain. “Ikut PT,” bahasa bekennya.
“Itulah kenapa aku milih nggak nggarap interior hotel,” cetus Andry. Dia bilang lebih aman ngerjain proyek rumahan. “Nagihnya lebih gampang. Ngerjain hotel kalau pembayarannya seret habis modalku,” begitu kurang lebih Andry beralasan.
Gonel menimpali dengan cerita seru. “Entah kenapa, orang jadi lupa nagih kalau ketemu aku,” weh, dia memerankan pihak antagonis di film pendek ini. “Sampai ada yang mengutus pengacara ke kantorku. Awalnya keras. Begitu kuajak ngobrol sana-sini, ia kutanya, ‘Lulusan Atma Jaya berarti kenal Tulus?’—sosok pengacara muda kondang,” ujar guru beladiri Aikido yang mudah jatuh iba ini—ia sambil membeli rokok yang ditawarkan oleh SPG yang mengaku “dikejar target”. “Aku ki nek ana wong muni dikejar target ki ora tegel je,” selanya, membuat saya urung mengejar apa niat sebenarnya di balik motivasi, “Rokok ini akan kuberikan pada mandor di proyek nanti.”
Sejatinya saya penasaran dengan “alasan mengada-ada” Gonel memberi rokok yang bukan rokok kesukaannya itu. Terlintas di benak istilah “uang rokok”. Apakah Gonel sedang melancarkan jurus menyogok bawahan lewat sebungkus rokok itu? Lha gendeng to, bukan bawahan yang nyogok atasan, melainkan sebaliknya.

Pertanyaan ini berkelebat cepat ketika saya mengingat perjumpaan sebelumnya dengan Gonel, Boneng, dan Endi, di kedai kopi Expresso Galeria Mall, beberapa bulan lalu. Topik obrolan santai yang dibikin serius kala itu adalah bagaimana peningnya mengelola tim. Lebih spesifik lagi: mengelola anak buah. Lebih menukik lagi: ngemong tukang. Obrolan kala itu, seingat saya, sungguh serius. Saya ingat, sampai-sampai Boneng ngudarasa, “Ngemong karyawan saiki ki susah. Ora isa ta ajari. Mbasan isa mlethas.”
Jadi, sebungkus rokok yang dibeli Gonel semalam dari SPG “berbaju merah berhati gundah”, semalam sungguh mengusik rasa penasaran saya. Sayang, Pak Lurah Boneng keburu ngantuk. Sudah dua malam ia tak tidur. “Yen ora isa turu ngene aku isa ngamuk!” ancamnya sambil cengengesan.
Karena cengengesannya pula, kami tak hirau. Sebaliknya, malah kami goda. Ada saja cerita yang kami obrolkan demi mengurungkan niat pulangnya. Dia tertawa, bukan ngamuk!

Syukurlah, sebab tidak ada proteksi asuransi bagi korban amukan, meski ada Gori di tengah kami. Gori pedagang asuransi di Adira Insurance. Semalam tak banyak yang ia ceritakan tentang asuransi selain satu hal, “Orang tidak akan beli produk jika ditawari iming-iming ‘tambah sekian rupiah untuk asuransi produk’. Orang baru akan beli kalau kata-katanya diganti ‘cukup tambah sekian rupiah untuk perlindungan produk anda’. Edyan, copywriting-e keren iki. Yen konangan agen-agen asuransi repot iki. Masa “insurance agency” diganti “bunker”—agen perlindungan?

Sayang, Gori terlalu futuristis. Dia bilang, “Mulih yo, aku ana meeting sesuk setengah wolu.” Weleh, lha wong isih sesuk lho… mbok nikmati anjuran Ignatius kae “kini dan di sini”.
Berakhirlah pertemuan kami sampai di sini. Dengan gontai kami pulang setelah mendapati seluruh minuman dan makanan yang kami santap dan teguh sudah dibayari oleh Andry. Batin saya, “Satu misteri lagi terpecahkan. Begini cara pulang duluan tanpa bisa dicegah: mbayari… hahaha.”
Lurs, baik yang hadir maupun tidak, terima kasih atas paseduluran kita. Meskipun terpencar hidupmu dalam tugas dan pekerjaanmu, ialah De Britto sedulurmu…

Bali, 22 Maret 2017
@AAKuntoA (96)