Sinergi dan Kolaborasi Di Tengah Masyarakat Sebagai Sarana Penegakkan Jati Diri Ke-Indonesia-an

“Urip-Urip Budaya oleh Pametri Budaya Nusantara Alumni SMA Kolese De Britto Yogyakarta”

 

Pengantar

Berawal dari suatu pengharapan bersama dari para alumni untuk berkontribusi dan hadir di tengah masyarakat, paguyuban ‘Pametri Budaya Nusantara’ alumni SMA Kolese De Britto Yogyakarta menyelenggarakan kegiatan Urip – Urip Budaya yang dikemas dalam media kesenian wayang purwa di Dusun Kedung Gupit, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan ‘Urip-Urip Budaya’ ini dilaksanakan oleh alumni lintas angkatan SMA Kolese De Britto Yogyakarta bekerjasama dengan masyarakat Kedung Gupit. Acara yang dilaksanakan pada tanggal 25 Agustus 2018 ini memiliki tajuk dalam pagelaran wayang yaitu “Petruk Dadi Lakon”.

Petruk – salah satu punakawan dari para ksatria ini menjadi tokoh protagonis dalam pagelaran wayang ‘Urip-Urip Budaya’. Sosok abdi yang sederhana, jujur, dan selalu siap sedia dalam mengemban tugas menjadi sebuah inspirasi bagi siapa saja untuk selalu bersikap andhap asor dan pada akhirnya dapat dianggap pantas oleh siapa saja, bahkan para Dewata. Amanat mengenai sosok Petruk diimplementasikan dalam 3 lakon pagelaran wayang yaitu:

  1. Petruk Ratu (Prabu Belgeduelbeh)

Petruk merasa prihatin menyaksikan keadaan masyarakat yang jatuh dalam kemiskinan dan para pejabat selalu bersikap masa bodoh serta suka berfoya-foya. Ia tidak hanya berdiam diri, ia mengambil langkah untuk membenahi kondisi yang terpuruk tersebut untuk menjadi seorang raja. Berbekal salah satu pusaka kerajaan Amarta – Pustaka Jamus Kalimasada, Petruk dapat menjadi raja di Loji Tengara.

Menyandang gelar sebagai Prabu Belgeduelbeh / Prabu Tong-Tong Sod, ia menyadarkan para raja untuk selalu ingat akan amanah sebagai seorang pemimpin. Semuanya tidak sementara, Petruk mengingat jati dirinya sebagai seorang abdi. Petruk kembali seperti sedia kala tetapi tidak berhenti untuk menjadi inspirasi bagi sesama.

Lakon ini mengingatkan para pemirsa untuk tidak berdiam diri ketika suatu hal buruk terjadi di tengah masyarakat, menjadi sosok pemimpin yang mengayomi, serta mengingatkan para pemirsa untuk eling marang sangkan paran lan jati dhiri (ingat akan asal muasal dan jati diri).

Lakon Petruk Ratu diceritakan oleh Subiantara, seorang dhalang bocah kelas 4 SD dari Kedung Gupit yang menjadi sumber daya manusia yang patut diapresiasi kebolehan dan bakatnya sebagai dhalang.

 

  1. Petruk Pandhita (Sang Pandhita Anom Dawala)

Situasi sosial masyarakat semakin tidak menentu. Kemiskinan merambah dimana-mana, wabah penyakit melanda masyarakat, dan para pemimpin tidak memiliki kepekaan akan hal tersebut. Petruk merasa sedih dan memohon kepada Dewata untuk memberikan petunjuk. Petruk mendapat wahyu dari Dewata, nugraha tersebut diberikan kepadanya sebagai sarana untuk menjadi seorang pendeta yang mampu menyembuhkan rasa sakit jasmani maupun rohani.

Sebagai seorang pertapa Kembang Sore, ia menyandang gelar sebagai Pandhita Anom Dawala – sosok pertapa yang memiliki banyak murid dan banyak orang yang berbondong-bondong untuk belajar dan memohon penyembuhan bagi yang terkena sakit. Setiap pertanyaan mengenai kehidupan dan keluhan dalam sakit dapat teratasi atas petuah sang pendeta.

Hanya sementara sang pendeta berkiprah, wahyu dari Tuhan melesat dari jiwa raga Pandhita Anom Dawala karena amananya sudah dianggap cukup dalam membenahi kondisi. Pandhita Anom Dawala kembali seperti sedia kala menjadi seorang abdi karena diingatkan oleh Dewi Ambarwati (istri Petruk) untuk kembali.

Lakon ini diceritakan oleh anggota Pametri Budaya Nusantara yaitu seorang alumni SMA Kolese De Britto Yogyakarta angakatan 2013 – Ki Henokh Aldebaran Ngili dari Magelang. Lakon Petruk Pandhita memuat pesan kepada para penonton untuk menjadi seorang manusia yang percaya akan mukjizat dari Tuhan, serta menjadi garam dan terang bagi sesama.

 

  1. Petruk Duta (Semar mBangun Kahyangan)

Semar Badranaya memiliki sebuah kesungguhan dalam hati untuk membangun kahyangan di Karang Tumaritis. Jer basuki mawa bea, semua kesungguhan hati akan terlaksana bila mampu mengusahakan suatu langkah konkrit. Pustaka Jamus Kalimasada, Tombak Parawelang, dan Payung Tunggul Naga merupakan syarat yang harus ada agar kahyangan dapat dibangun. Demi kepentingan bersama, Semar tidak mengusahakan sendiri dalam mengusahakan sarana. Petruk sebagai anak angkat Semar diutus menuju kerajaan Amarta untuk memohon kepada Prabu Yudhistira agar ketiga pusaka tersebut dapat dipinjamkan sementara.

Keadaan tidak mulus, Petruk diragukan oleh para punggawa Amarta, utamanya raja Dwarawati – Prabu Sri Bathara Kresna. Petruk ditolak secara tidak hormat karena amanah tersebut dianggap tidak masuk akal. Maju terus pantang mundur, Petruk terus mengusahakan cara agar ketiga pusaka tersebut dapat dipinjamkan sebagai syarat. Suatu keajaiban terjadi, ketiga pusaka tersebut dapat diterima oleh Petruk atas kehendak Dewata.

Pusaka telah sampai di Karang Tumaritis atas jasa Petruk. Sampainya ketiga pusaka tersebut menjadi salah satu alasan bagi Semar untuk mengumpulkan para ksatria Amarta, Mandura, dan Dwarawati. Semar berkata pada para ksatria untuk membangun kahyangan. Bukanlah kahyangan surgawi, melainkan kahyangan dalam hati. Semar memberikan pesan untuk membangun pondasi kokoh sebagai seorang ksatria, membangun pilar kehidupan yang kuat, dan membangun atap utamanya bagi seorang pemipin yang selalu mengayomi.

Sosok Petruk dalam lakon ini memuat pesan yaitu hendaknya menjadi seorang yang siap diutus kemanapun berada, segala rintangan hendaknya dihadapi dengan lapang dada, karena pada akhirnya suatu jalan terang akan sampai kepada seseorang yang memiliki kemauan untuk berprihatin dalam meraih kesuksesan.

Lakon Petruk Duta diceritakan oleh Ki Surasa ‘Penthet’ dari Sanggar Watu Blencong, Kulon Progo. Beliau adalah dhalang lokal yang patut diangkat dan diapresiasi di tengah masyarakat.

 

Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pagelaran wayang kulit didukung oleh alumni yang tergabung dalam paguyuban ‘Pametri Budaya Nusantara’ serta masyarakat di Kedung Gupit. Dalam hal pementasan, para pengisi acara terdiri dari 3 pendukung yaitu: Sanggar Watu Blencong Kulon Progo, para pengrawit dari Ki Radya Harsana (Magelang), serta kelompok karawitan Gangsa Kukila SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Pagelaran ‘Urip-Urip Budaya’ pula menghadirkan dua komedian dari Yogyakarta yaitu Sugeng Iwak Bandeng dan Dalijo Angkring.

Event ini diselenggarakan bukan tanpa alasan, bahkan tidak hanya untuk sekadar menghibur diri. Event ini menjadi sarana bagi anggota Pametri Budaya Nusantara untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan sesama alumni De Britto, belajar untuk hadir di tengah masyarakat, dan utamanya adalah melaksanakan komitmen sebagai masyarakat untuk terus melestarikan dan mengembangkan potensi seni, salah satunya kesenian wayang purwa. Pada akhirnya, sebuah tindakan konkrit yang dilaksanakan, salah satunya yaitu sikap dan teladan yang selalu diingat oleh para alumni De Britto ‘’Man for and with others.”

 

Video

Pergelaran Wayang Purwa “Petruk Dadi Lakon” – BAGIAN 1

 

Pergelaran Wayang Purwa “Petruk Dadi Lakon” – BAGIAN 2

 

Dagelan Guyon Maton – Bagian 3

 

Susunan Acara

No. Waktu Acara
1 09.30 – 10.00 Pembukaan acara
2 10.00 – 12.00 Subiantara – Petruk Ratu
3 12.00 – 12.10 Persiapan Dhalang 2
4 12.30 – 17.30 Ki Henokh – Petruk Dukun
5 17.30 – 18.30 ISHOMA
6 19.00 – 19.30 Dhagelan
7 19.35 – 19.45 Sambutan Kadus Kedung Gupit
8 19.50 – 20.00 Sambutan Penyelenggara
9 20.10 – 20.20 Penyerahan Wayang kepada Ki Surasa ‘Penthet’
10 20.30 – 21.00 Uyon – uyon (sekaligus patalon)
11 21.00 – 04.00 Ki Surasa ‘Penthet’ – Petruk Duta

 

Didik Trihadi JB98
I Made Christian Wiranata Rediana JB16
Tim PBN JB